NIM : 1401036080
Mata Kuliah : Fiqh
1)
A. Karakteristik pemikiran madzhab :
1.
Imam
Hanafi
Madzhab Hanafi adalah gambaran nyata persesuaian hokum fiqih Islam
dengan kebutuhan Masyarakat disegala bidang. Karena madzhab ini berdasarkan Al –Qur’an, hadist,
Qiyas, istihsan, serta bidang –bidang ijtihad yang menjadi luas sehingga dapat
ditetapkan hukum –hukum yang sesuai dengan keadaan masyarakat dengan tidak
keluar dari prinsip –prinsip dan aturan.
Dalam beristinbath, imam Abu Hanifah tetap mengunakan Al –qiyas
sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa dengan menggunakan Al- Qiyas, maka
berpegang pada istihsan selama dapat dilakukan. Jika tdak bisa baru beliau
berpegang pada adat dan Urf.
Dalam mengistinbathkan hokum, Abu Hanifah berpegang pada Al –Qur’an
dan sangat berhati –hati dalam menggunakan sunnah. Selain tu ia banyak
menggunakan Qiyas, istihsan dan Urf.
Adapun karakteristik dari imam Abu Hanafi adalah :
a)
Imam
Abu Hanafi merupakan imam yang memiliki pemikiran Rasionalis. Akan
tetapi tidak berarti ia telah mengabaikan nash –nash Al-Qur’an dan sunnah.
Sebenarnya tidak ada riwayat shahih yang menyatakan bahwa Abu Hanifah
mendahulukan rasio daripada Al –Qur’an dan sunnah. Bahkan jika ia menemukan
pendapat dari sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan
kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berasal dari
para pendahulunya di Irak dan juga para ahli Hadits di Hijaz. Misalkan hokum
seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum Tawaf ziarah, Abu Hanifah
mengambil pendapat Ibnu Abbas seorang ulama Hadits Makkah, dan menolak pendapat
Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran Fiqih rasional.
b)
yang
paling membedakan pemikiran Abu Hanafi dengan imam yang lain sebenarnya
terletak pada kebenarannya menyelami suatu hokum, mencari tujuan –tujuan moral
dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama di syariatkannya suatu hukum.
2.
Imam
Maliki
Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang
pada :
a)
Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas dzahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas dzahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b)
Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
c)
Tradisi
Penduduk madinah
d)
Qiyas
e)
Fatwa
sahabat
f)
Al-Maslahah
Al-Mursalah
g)
‘urf
h)
Istihsan
i)
Istihsab
j)
Sad
adz-dzariah
k)
Syar’u
man qoblana
Madzhab ini adalah kebalikan dari madzab al-Hanafiyah.
Al-Hanifiayah bnayak sekali menggunakan nalar dan logika, karena kurang
tersediannya nash-nash yang shahih di kufah. Madzhab maliki justru banyak
sumber-sumber syiahnya. Sebab madzab ini tumbuh dan berkembang dikota Nabi Saw
sendiri, dimana penduduknya adalah anak keturunan dari para shahabat. Imam
maliki sangat meyakani bahwa praktek ibadah yang dilakukan oleh penduduk
madinah setelah meninggalnya Nabi saw bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa
merujuk dengan hadist yang shahih sebelumnya.
Adapun karakteristik Imam Maliki :
a)
Imam
Maliki memiliki pemikiran tradisional. Hal ini karena beliau lebih
memilih menggunakan Qur’an, hadist, Amal ahli Madinah, sebagai wujud kehatian
beliau dalam memberikan fatwa. Beliau member porsi yang besar terhadap riwayat
dari pada akal, sehingga beliau dikenal pemikiran fiqih tradisonal yang mana
lebih menekankan Al –Qur’an dan sunnah Nabi
3.
Imam
Hambali
Dasar –dasar pemikiran Imam Hamabali :
a)
Al
–Qur’an secara Dhahir dan sunnah
Apabila beliau telah mendapatkan suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah
Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.
b)
Fatwa
sahabat
Apabila
ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari
hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang
tidak ada perselisihan di kalangan mereka.
c)
Jika
dalam fatwa sahabat ada perbedaan, maka digunakan yang lebih dekat dengan Al
–Qur’an.
d)
Hadits
Mursal dan Hadits Dha’if
Apabila ia
tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan
hadits mursal dan hadits dha’if.
e)
Qiyas
Apabila Imam
Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha’if,
maka ia menggunakan qiyas.
Adapun
karakteristik yang dimiliki oleh imam Hambali adalah :
a)
Imam
Hambali memiliki pemikiran fundamentalis.
b)
Dalam
memberikan fatwa mengenai suatu hokum, imam Hambali adalah orang yang sangat
berhati –hati.
c)
Beliau
adalah sosk ahlul hadist yang teguh memegang prinsip yaitu tidak akan
memutuskan suatu persoalan dengan mendominasi ijtihad dalam member jawaban
d)
Beliau
mampu memutuskan persoalan tanpa mencampuradukan dengan Urf masyarakat.
4.
Imam
Syafi’i
Imam Syafi’I berhasil menciptakan produk madzhab yang dikenal
dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Dimana Qaul Qadim merupakan hasil ijtihad
yang diajarkan kepadamurid –muridnya ketika ada di Irak. Sedangkan Qaul Jadid
adalah hasil ijtihad yang beliau tetapkan ketika berada di Mesir.
Dasar –dasar Madzhab Imam Syafi’i seperti yang tertulis dalam
kitabnya Ar-Risalah Al- Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Istidlal. Dalam
istinbath (menetapkan) hokum, Imam Syafi’I menggunakan Al-Qur’an dan As –Sunnah
sebagai dasar utamanya. Apabila tidak ditemukan pada kedua sumber hokum
tersebut, dalam menentukan suatu hokum atau kasus, maka menggunakan Qiyas.
Menurutnya, ijma’ijma’ dipandang lebih kuat dibandingkan hadist ahad. Imam
Syafi’I dalam menggunakan Hadist, beliau hanya menerima hadist dari lahirnya
saja. Jika ada hadist yang bermakna ganda, ia hanya mengambil makna dhahirnya
saja.
Adapun karakteristik dari imam Syafi’i adalah:
a)
Imam
Syafii terkenal dengan imam yang memiliki pemikiran moderat. Dikatakan
moderat, karena imam Syafi’I mampu menjadi jembatan penghubung antara pemikiran
yang ekstrim yaitu Madzhab hanafi yang
lebih menggunakan Ra’yu yang lbih mengedepankan rasionalitas dengan Madzhab
Maliki yang lebih menggunakan Hadist.
5.
Imam
Dhahiri
Madzhab Dhahiri adalah salah satu dari madzhab –madzhab sunni yang
telah lenyap. Pendirinya bernama Abu Sulaian Daud Ad Dhahiri. Dikatakan Madzhab
Dhahiri, karena beliau berpegang pada dhahir (kepastian ) Al- Qur’an dan As –Sunnah,
tidak menerima adanya ijma’ terkecuali ijma’ yang diakui oleh semua ulama.
Madzhab ini berkembang di Andalus hingga abad ke -5 hijriah, kemudian berangsur
–ansur mundur, hingga lenyap sama sekali di abad ke-8 Hijriah.
Ad –Dhahiri berpendapat bahwa nash –nash yang digunakan ahlu ra’yi
dalam memandang Qiyas sebagai dasar hokum, apabila di dalam Al –Qur’an dan
sunnah tidak terdapat nash nya. Ad Dhahiri juga tidak berpegang pada rasio,
istihsan, istishab, maslahah mursalah, dan dalil –dalil. Sumber –sumber hokum
Ad Dhahiri dari Al –Qur’an, dan sunnah serta nash yang diijma’I oleh para
sahabat.
Karakteristik yang dimiliki oleh Madzhab Dhahiri adalah sebagai
berikut:
a)
Imam
Dhahiri terkenal dengan imam yang anti taqlid, yaitu mengikuti pendapat orang
lain tanpa mengetahui dasar –dasarnya.
6.
Syi’ah
Madzhab Syi’ah didirikan oleh
seorang yang bernama Al-Imam Abu Abdillah Ja’far As-Shodiq bin Muhammad
Al-Baqir bin Abi Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib.
Dari segi pemahaman fiqih, beberapa
pendapat madzhab ini dalam fiqih ahlussunnah antara lain
-
Menghalalkan
nikah mut’ah atau nikah kontrak
-
Mewajibkan
adanya sanksi dalam setiap perceraian
-
Mengharamkan
lali-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab
-
Tidak
mengakui syariat al-mushu ‘alal –khufain sebagai penganti cucu kaki dalam wudhu
-
Dalam
masalah warisan mereka mendahulukan anak paman seayah dan seibu daripada anak
paman seayah
Landasan
fiqih yang paling mendasar menurut mereka dalam menetapkan suatu hokum adalah :
-
Dalam
masalah penggunaan dalil-dalil fiqih, mereka hanya memilih menggunakan
hadist-hadist yang diriwayatkan oleh ahlul bait saja.
-
Mereka
mengedepankan ijtihad tapi menolak qiyas yang tidak disertai nash tentang
illatnya.
-
Mengingkari
ijma’ kecuali bila didalam ijma’ itu ada imam yang ikut serta
-
Rujukan
dalam semua masalah fiqih hanya terbatas kepada ulama dari imam mereka saja.
B.
Mengapa
pendapat para ulama berbeda
1.
Perbedaan
dalam memahami al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah dasar hukum pertama yang menjadi pedoman setiap mazhab. hanya saja
terkadang mereka berbeda mengartikannya. Disebabkan :
a.
Ada
sebagian lafadz al-Qur’an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak)
b.
Susunan
ayat al-Qur’an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat huruf “fa”, “waw”,
“aw”, “illa”, “hatta” dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung
konteksnya.
c.
Perbedaan
memandang lafadz ‘am-khas, mujmal-mubayyan, dan nasikh-mansukh.
d.
Perbedaan
dalam memahami lafadz perintah dan larangan
2.
Perbedaan
dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadits
3.
Perbedaan
dalam metode ijtihad
C.
Bagaimana
kita menyikapinya?
Ketika melihat berbagai perbedaan yang timbul akibat perbedaan
ijtihad setiap Madzhab, maka sebaiknya sikap kita tetaplah menghargai setiap
hasil dari pemikiran para imam Mdzhab tersebut. Dan jika kita ingin mengikuti
salah satu madzhab, maka kita juga harus bisa menghargai pengikut Madzhab yang
lain. Jangan terlalu fanatic dengan Madzhab yang telah kita anut. Sehingga
menganggap penganut Madzhab yang lain itu salah, dan madzhab yang kita anutlah
yang benar.
2)
akhir
–akhir ini telah marak dengan berbagai tawaran asuransi yang ada di Indonesia.
Bagaimana pendapat anda mengenai masalah tersebut jika dilihat berdasarkan
pandangan fiqih? Jelaskan!
Sekarang ini banyak sekali permasalahn fiqh yang muncul. Di mana
permasalahan tersebut di zaman Nabi Muhammad belum ada. Misalnya saja dalam
menentukan halal atau haramnya Asuransi yang kini sudah merakyat di mayarakat
Indonesia. Adapun jenis asuransi yang sudah melekat di masyarakat adalah
asuransi jiwa, asuransi beasiswa, asuransi dagang, dan masih banyak lagi.
Asuransi adalah suatu usaha saling melindungi dan saling tolong
menolong di anatar sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk asset atau Tabarru’melalui
akad sesuai dengan syari’ah. Asuransi merupakan suatu persetujuan yang
menyetujui bahwapihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk
menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan
diterima oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas
akan terjadi.
Landasan hokum dalam berasuransi seperti yang tercantum dalam Q.S
An-Nisa’ ayat 58, yang mana menyebutkan bahwa :”sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila dalam menetapkan hokum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik –baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi Maha melihat”.
Sebenarnya jika dilihat dari penjelasan di atas, dan apabila
dilihat berdasarkan kaidah fiqh, pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan, kecuali
terdapat dalil yang mengharamkannya.
Berdasarkan pandangan para Ulama’ mengenai asuransi ada berbagai
pendapat, di antaranya : ada yang mengharamkan segala bentuk asuransi termasuk
asuransi jiwa. Hal ini karena pada dasarnya asuransi sama dengan judi,
mengandung unsure tidak jelas, riba. Selain itu ada yang membolehkan semua
jenis Asuransi dalam prakteknya selama ini, dengan alasan : bahwa tidak ada
nash Al –Qur’an dan nash hadist yang melarang Asuransi, asuransi tidak
merugikan salah satu pihak bahkan kedua belah pihak, asuransi mengandung
kepentingan umum, sebab premi –premi yang terkumpul dapat diinvestasikan.
Menanggapi hal tersebut sebenarnya yang ditakutkan dalam kegiatan
berasuransi adalah adanya tipuan. Dan sebenarnya jika seseorang sudah
mengikatkan diri pada asuransi, maka segala bentuk resiko harus bisa diketahui.
Di kalangan umat Islam ada yang beranggapan bahwa asuransi adalah tidak islami.
Orang yang melakukan asuransi adalah termasuk orang yang mengingkari rahmat Allah. Namun di sisi lain,
Asuransi tidak akan lepas dari manusia. Orang yang terlibat dalam Asuransi,
merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan masa tua.
Ketika
berbagai pendapat muncul, maka penyelesaian alternative yang dapat diambil
adalah dengan asuransi syari’ah (asuransi menurut ketentuan agama Islam).
Biasanya asuransi syari’ah menggunakan system Mudharabah (bagi hasil).
0 komentar:
Posting Komentar