Jumat, 18 November 2016

perbedaan spesifik karakteristik antara imam Madzhab

Nama             : Jumaidah
NIM             : 1401036080
Mata Kuliah  : Fiqh


1)   A.  Karakteristik pemikiran madzhab        :
1.    Imam Hanafi
Madzhab Hanafi adalah gambaran nyata persesuaian hokum fiqih Islam dengan kebutuhan Masyarakat disegala bidang. Karena  madzhab ini berdasarkan Al –Qur’an, hadist, Qiyas, istihsan, serta bidang –bidang ijtihad yang menjadi luas sehingga dapat ditetapkan hukum –hukum yang sesuai dengan keadaan masyarakat dengan tidak keluar dari prinsip –prinsip dan aturan.
Dalam beristinbath, imam Abu Hanifah tetap mengunakan Al –qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa dengan menggunakan Al- Qiyas, maka berpegang pada istihsan selama dapat dilakukan. Jika tdak bisa baru beliau berpegang pada adat dan Urf.
Dalam mengistinbathkan hokum, Abu Hanifah berpegang pada Al –Qur’an dan sangat berhati –hati dalam menggunakan sunnah. Selain tu ia banyak menggunakan Qiyas, istihsan dan Urf.
Adapun karakteristik dari imam Abu Hanafi adalah :
a)    Imam Abu Hanafi merupakan imam yang memiliki pemikiran Rasionalis. Akan tetapi tidak berarti ia telah mengabaikan nash –nash Al-Qur’an dan sunnah. Sebenarnya tidak ada riwayat shahih yang menyatakan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al –Qur’an dan sunnah. Bahkan jika ia menemukan pendapat dari sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berasal dari para pendahulunya di Irak dan juga para ahli Hadits di Hijaz. Misalkan hokum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum Tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas seorang ulama Hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran Fiqih rasional.
b)   yang paling membedakan pemikiran Abu Hanafi dengan imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami suatu hokum, mencari tujuan –tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama di syariatkannya suatu hukum.

2.    Imam Maliki
Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada :
a)    Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas dzahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b)    Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
c)    Tradisi Penduduk madinah
d)   Qiyas
e)    Fatwa sahabat
f)    Al-Maslahah Al-Mursalah
g)   ‘urf
h)   Istihsan
i)     Istihsab
j)     Sad adz-dzariah
k)   Syar’u man qoblana
Madzhab ini adalah kebalikan dari madzab al-Hanafiyah. Al-Hanifiayah bnayak sekali menggunakan nalar dan logika, karena kurang tersediannya nash-nash yang shahih di kufah. Madzhab maliki justru banyak sumber-sumber syiahnya. Sebab madzab ini tumbuh dan berkembang dikota Nabi Saw sendiri, dimana penduduknya adalah anak keturunan dari para shahabat. Imam maliki sangat meyakani bahwa praktek ibadah yang dilakukan oleh penduduk madinah setelah meninggalnya Nabi saw bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa merujuk dengan hadist yang shahih sebelumnya.
Adapun karakteristik Imam Maliki :
a)    Imam Maliki memiliki pemikiran tradisional. Hal ini karena beliau lebih memilih menggunakan Qur’an, hadist, Amal ahli Madinah, sebagai wujud kehatian beliau dalam memberikan fatwa. Beliau member porsi yang besar terhadap riwayat dari pada akal, sehingga beliau dikenal pemikiran fiqih tradisonal yang mana lebih menekankan Al –Qur’an dan sunnah Nabi

3.    Imam Hambali
Dasar –dasar pemikiran Imam Hamabali :
a)    Al –Qur’an secara Dhahir dan sunnah
Apabila beliau telah mendapatkan  suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.
b)   Fatwa sahabat
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka.
c)    Jika dalam fatwa sahabat ada perbedaan, maka digunakan yang lebih dekat dengan Al –Qur’an.
d)   Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan hadits mursal dan hadits dha’if.
e)    Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha’if, maka ia menggunakan qiyas.
Adapun karakteristik yang dimiliki oleh imam Hambali adalah :
a)    Imam Hambali memiliki pemikiran fundamentalis.
b)   Dalam memberikan fatwa mengenai suatu hokum, imam Hambali adalah orang yang sangat berhati –hati.
c)    Beliau adalah sosk ahlul hadist yang teguh memegang prinsip yaitu tidak akan memutuskan suatu persoalan dengan mendominasi ijtihad dalam member jawaban
d)   Beliau mampu memutuskan persoalan tanpa mencampuradukan dengan Urf masyarakat.

4.    Imam Syafi’i
Imam Syafi’I berhasil menciptakan produk madzhab yang dikenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Dimana Qaul Qadim merupakan hasil ijtihad yang diajarkan kepadamurid –muridnya ketika ada di Irak. Sedangkan Qaul Jadid adalah hasil ijtihad yang beliau tetapkan ketika berada di Mesir.
Dasar –dasar Madzhab Imam Syafi’i seperti yang tertulis dalam kitabnya Ar-Risalah Al- Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Istidlal. Dalam istinbath (menetapkan) hokum, Imam Syafi’I menggunakan Al-Qur’an dan As –Sunnah sebagai dasar utamanya. Apabila tidak ditemukan pada kedua sumber hokum tersebut, dalam menentukan suatu hokum atau kasus, maka menggunakan Qiyas. Menurutnya, ijma’ijma’ dipandang lebih kuat dibandingkan hadist ahad. Imam Syafi’I dalam menggunakan Hadist, beliau hanya menerima hadist dari lahirnya saja. Jika ada hadist yang bermakna ganda, ia hanya mengambil makna dhahirnya saja.
Adapun karakteristik dari imam Syafi’i adalah:
a)    Imam Syafii terkenal dengan imam yang memiliki pemikiran moderat. Dikatakan moderat, karena imam Syafi’I mampu menjadi jembatan penghubung antara pemikiran yang ekstrim yaitu Madzhab hanafi  yang lebih menggunakan Ra’yu yang lbih mengedepankan rasionalitas dengan Madzhab Maliki yang lebih menggunakan Hadist.

5.    Imam Dhahiri
Madzhab Dhahiri adalah salah satu dari madzhab –madzhab sunni yang telah lenyap. Pendirinya bernama Abu Sulaian Daud Ad Dhahiri. Dikatakan Madzhab Dhahiri, karena beliau berpegang pada dhahir (kepastian ) Al- Qur’an dan As –Sunnah, tidak menerima adanya ijma’ terkecuali ijma’ yang diakui oleh semua ulama. Madzhab ini berkembang di Andalus hingga abad ke -5 hijriah, kemudian berangsur –ansur mundur, hingga lenyap sama sekali di abad ke-8 Hijriah.
Ad –Dhahiri berpendapat bahwa nash –nash yang digunakan ahlu ra’yi dalam memandang Qiyas sebagai dasar hokum, apabila di dalam Al –Qur’an dan sunnah tidak terdapat nash nya. Ad Dhahiri juga tidak berpegang pada rasio, istihsan, istishab, maslahah mursalah, dan dalil –dalil. Sumber –sumber hokum Ad Dhahiri dari Al –Qur’an, dan sunnah serta nash yang diijma’I oleh para sahabat.
Karakteristik yang dimiliki oleh Madzhab Dhahiri adalah sebagai berikut:
a)    Imam Dhahiri terkenal dengan imam yang anti taqlid, yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar –dasarnya.



6.    Syi’ah
Madzhab Syi’ah didirikan oleh seorang yang bernama Al-Imam Abu Abdillah Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Abi Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib.
Dari segi pemahaman fiqih, beberapa pendapat madzhab ini dalam fiqih ahlussunnah antara lain
-          Menghalalkan nikah mut’ah atau nikah kontrak
-          Mewajibkan adanya sanksi dalam setiap perceraian
-          Mengharamkan lali-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab
-          Tidak mengakui syariat al-mushu ‘alal –khufain sebagai penganti cucu kaki dalam wudhu
-          Dalam masalah warisan mereka mendahulukan anak paman seayah dan seibu daripada anak paman seayah
Landasan fiqih yang paling mendasar menurut mereka dalam menetapkan suatu hokum adalah :
-          Dalam masalah penggunaan dalil-dalil fiqih, mereka hanya memilih menggunakan hadist-hadist yang diriwayatkan oleh ahlul bait saja.
-          Mereka mengedepankan ijtihad tapi menolak qiyas yang tidak disertai nash tentang illatnya.
-          Mengingkari ijma’ kecuali bila didalam ijma’ itu ada imam yang ikut serta
-          Rujukan dalam semua masalah fiqih hanya terbatas kepada ulama dari imam mereka saja.

B.  Mengapa pendapat para ulama berbeda
1.    Perbedaan dalam memahami al-Qur’an
Al-Qur’an adalah dasar hukum pertama yang menjadi pedoman setiap mazhab. hanya saja terkadang mereka berbeda mengartikannya. Disebabkan :
a.    Ada sebagian lafadz al-Qur’an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak)
b.    Susunan ayat al-Qur’an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat huruf “fa”, “waw”, “aw”, “illa”, “hatta” dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya.
c.    Perbedaan memandang lafadz ‘am-khas, mujmal-mubayyan, dan nasikh-mansukh.
d.   Perbedaan dalam memahami lafadz perintah dan larangan
2.    Perbedaan dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadits
3.    Perbedaan dalam metode ijtihad

C.  Bagaimana kita menyikapinya?
Ketika melihat berbagai perbedaan yang timbul akibat perbedaan ijtihad setiap Madzhab, maka sebaiknya sikap kita tetaplah menghargai setiap hasil dari pemikiran para imam Mdzhab tersebut. Dan jika kita ingin mengikuti salah satu madzhab, maka kita juga harus bisa menghargai pengikut Madzhab yang lain. Jangan terlalu fanatic dengan Madzhab yang telah kita anut. Sehingga menganggap penganut Madzhab yang lain itu salah, dan madzhab yang kita anutlah yang benar.
2)             akhir –akhir ini telah marak dengan berbagai tawaran asuransi yang ada di Indonesia. Bagaimana pendapat anda mengenai masalah tersebut jika dilihat berdasarkan pandangan fiqih? Jelaskan!
Sekarang ini banyak sekali permasalahn fiqh yang muncul. Di mana permasalahan tersebut di zaman Nabi Muhammad belum ada. Misalnya saja dalam menentukan halal atau haramnya Asuransi yang kini sudah merakyat di mayarakat Indonesia. Adapun jenis asuransi yang sudah melekat di masyarakat adalah asuransi jiwa, asuransi beasiswa, asuransi dagang, dan masih banyak lagi.
Asuransi adalah suatu usaha saling melindungi dan saling tolong menolong di anatar sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk asset atau Tabarru’melalui akad sesuai dengan syari’ah. Asuransi merupakan suatu persetujuan yang menyetujui bahwapihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diterima oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Landasan hokum dalam berasuransi seperti yang tercantum dalam Q.S An-Nisa’ ayat 58, yang mana menyebutkan bahwa :”sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila dalam menetapkan hokum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik –baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi Maha melihat”.
Sebenarnya jika dilihat dari penjelasan di atas, dan apabila dilihat berdasarkan kaidah fiqh, pada dasarnya  semua bentuk muamalah boleh dilakukan, kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya.
Berdasarkan pandangan para Ulama’ mengenai asuransi ada berbagai pendapat, di antaranya : ada yang mengharamkan segala bentuk asuransi termasuk asuransi jiwa. Hal ini karena pada dasarnya asuransi sama dengan judi, mengandung unsure tidak jelas, riba. Selain itu ada yang membolehkan semua jenis Asuransi dalam prakteknya selama ini, dengan alasan : bahwa tidak ada nash Al –Qur’an dan nash hadist yang melarang Asuransi, asuransi tidak merugikan salah satu pihak bahkan kedua belah pihak, asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi –premi yang terkumpul dapat diinvestasikan.
Menanggapi hal tersebut sebenarnya yang ditakutkan dalam kegiatan berasuransi adalah adanya tipuan. Dan sebenarnya jika seseorang sudah mengikatkan diri pada asuransi, maka segala bentuk resiko harus bisa diketahui. Di kalangan umat Islam ada yang beranggapan bahwa asuransi adalah tidak islami. Orang yang melakukan asuransi adalah termasuk orang yang  mengingkari rahmat Allah. Namun di sisi lain, Asuransi tidak akan lepas dari manusia. Orang yang terlibat dalam Asuransi, merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan masa tua.
Ketika berbagai pendapat muncul, maka penyelesaian alternative yang dapat diambil adalah dengan asuransi syari’ah (asuransi menurut ketentuan agama Islam). Biasanya asuransi syari’ah menggunakan system Mudharabah (bagi hasil).

0 komentar:

Posting Komentar