Senin, 05 Desember 2016

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM INDONESIA POSTMODERNISME (Abdurrahman Wahid, Nur Cholis Majid, dan Amien Rais)




I.                   PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat baik dalam maupun luar negeri. Pelaksanaan praktisnya adalah Daulah atau negara. Politik dalam negeri dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda atau aqidah dan peraturan Islam di dalam negeri.
Dalam menggeluti politik dalam negeri, kaum muslimin wajib memerhatikan pelaksanaan pemerintahan dan meluruskan jika terjadi penyimpangan. Berbagai pemikiran muncul dari berbagai kalangan atau tokoh intelektual seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Amin Rais. Adapun pemikiran yang dilontarkan oleh mereka merupakan pemikiran yang membuat kontroversial. Makalah ini akan membahas mengenai pemikiran politik Islam menurut ketiga tokoh intelektual di atas.
II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pemikiran politik Abdurrahman Wahid?
2.      Bagaimana pemikiran politik Nur Cholis Majid?
3.      Bagaimana pemikiran politik Amien Rais?


III.             PEMBAHASAN
1.      Pemikiran Abdurrahman Wahid
Sejak melontarkan pemikiran-pemikirannya pada pertengahan 1980-an ia senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah. Berangkat dari dunia pesantren ia dinilai menepiskan anggapan sebagian komunitas Islam kota terhadap kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional. Kolom-kolom awalnya menyadarkan orang akan tidak berdasarnya stereotip yang sering dialamatkan kepada para kiai selama ini.
Memasuki dasawarsa 1990-an langkah politiknya lebih “gila” lagi. Bagi sejumlah komunitas Islam, ia pernah dikecam habis-habisan karena dukungannya terhadap seorang Jenderal yang justru dinilai pernah menyudutkan umat Islam atau pendapatnya yang berani “keluar” mainstream umat saat marak kasus Monitor dulu. Kemudian bersama sejumlah tokoh yang ada di pinggir kekuasaan ia mengelindingkan Forum Demokrasi. Dengan itu, ia justru mengambil resiko berseberangan dengan pendukung status quo.
Sejak kecil Gus Dur di didik dan dibesarkan dalam keluarga pesantren dan di bawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri adalah Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pelopor Pesantren, Jombang, Jawa Timur. K. H. Wahid Hasyim adalah ayah Gus Dur yang pada 1950 menjabat sebagai Menteri Agama R. I. Sedangkan K. H. Bisri Syamsuri adalah kakek Gus Dur dari jalur ibundanya.
Gus Dur memang tidak hanya tampil sebagai sosok pribadi dengan sepak terjangnya yang sering kontroversial, tapi ia juga seorang pemikir dengan banyak gambar yang sering hanya sanggup dipahami berdasarkan sensasi media saja. Tak heran kalau kelompok muda NU semacam Hairus Salim H. S. Dan Nurudin Amin menyebut upaya untuk membuka diskusi mengenai sepak terjang Gus Dur di pentas politik nasional, bisa dianalogikan sebagai pendakian terhadap sebuah “gunung”. Untuk memahami sosok Gus Dur dengan segala manuver dan kontroversinya, selama ini memang telah dilakukan oleh pengamat melalui banyak jalur. Antara lain dengan cara melakukan periodisasi untuk mengetahui masa-masa yang paling menentukan formasi intelektualitas Gus Dur.
Berdasarkan perspektif ini, dasawarsa 1970-an dan 1980-an awal sering dikatakan sebagai “periode ilmiah”-nya Gus Dur. Sejak itu, menurut mereka, dan sepanjang dasawarsa 1970-an hingga awal 1980-an, serangkaian tulisan Gus Dur menyembul dari dunia yang hanya dikenal sepintas lalu, yang “asing” dan “tidak dimengerti”, kecuali dengan sejumlah pengetahuan stereotipe. Pada periode ini, pemikiran dan aksi politik Gus Dur terfokus pada persoalan sosial, budaya, politik, dan keagamaan yang langsung berkaitan dengan pergolakan dunia pesantren.
Namun pada gilirannya periodesasi itu hanyalah salah satu jalan untuk menunjukkan bahwa Gus Dur adalh sosok yang menarik untuk memerlihatkan betapa kuatnya keterkaitan antara pemikiran dan aksi politik yang kontroversional dan sering sulit dipahami. Apalgi Gusdur justru menjadi actor yang memimpin organisasi seperti NU dengan massa yang senantiasa siap bertarung dengan berbagai wajah dunia sosial. Tak heran Gus Dur sering dibilang para pengkritiknya sebagai pemimpin yang selalu jalan sendiri, tidak menoleh ke belakang kepada umatnya, massa NU
Disebut sebagai pemikir yang memiliki pemikiran kontroversional, dan terjadang terkesan nylene, membuat Douglas E. Ramage, menyebut bahwa NU di bawah kepemimpinan Gus Dur, dianggap mempresentasikan bentuk Islam yang lebih diterima pemerintah. Visi pemikiran Gus Dur yang dianggap mendukung gagasan pencasila balik dirangkul pemerintah. Ramage bahkan menyebut Gus Dur sebagai seorang “”Nasionalis-sekuler” dan actor politik yang non-politis.[1]
Gus Dur dinilainya telah berhasil menggunakan massa NU dalam kiprahnya untuk menjadi pelopor demokratisasi di Indonesia. Tentu saja, dilakukan dengan argumentasi bahwa Islam dengan demokrasi adalah mutually compatible. Penyebutan Gus Dur sebagai “nasionalis sekuler” tampaknya berdasarkan berbagai pertimbangan setelah Ramage melihat sepak terjang Gus Dur, baik keterlibatannya di berbagi LSM atau di Fordem dan getolnya Gus Dur menkritik kelompok yang dinilainya mengabaikan atau menyalahgunakan pancasila



2.      Pemikiran politik Nur Cholis Madjid
Nur Cholis Madjid lahir pada tanggal 17 maret 1939 M di Desa Mojoanyar, Jombang, dan wafat pada tanggal 29 Agustus 2005. Ayahnya bernama Abdul Madjid, dikenal sebagai kiai terkondang, alumnus pesantren Tebuireng, dan salah seorang pemimpin Masyumi, partai berideologi Islam paling berpengaruh pada saat itu.
Dikutip dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam kita karya Adurrahman Wahid, Gagasan-gagasan Nur Cholis Madjid tentang hubungan Islam-politik saat itu telah menggugah kesadaran baru umat Islam untuk mencairkan semangat pembentukan negara Islam yang dipandang tidak realistis diterapkan di Indonesia. Pengalaman pahit sejarah pembentukan negara yang hampir selalu berujung pada “Kegagalan” umat Islam dijadikan sebagai salah satu pelajaran yang melatarbelakangi lahirnya gagasan tersebut.[2]
Semangat kulturalisasi ajaran Islam yang menjadi tema besar gerakan pembaharuan Fase ke-dua telah menggugah generasi Islam era 70-an untuk melakukan perubahan paradigmatis khususnya dalam mengimplikasikan nilai-nilai Islam, sesuai dengan konteks kepentingan politik. Jargon “Islam Yes, partai Islam No” yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid menjadi pelatuk awal yang memporak-porandakan kecenderungan apologetik kelompok islam politik terhadap konsep negara Indonesia.
Cak Nur beranggapan bahwa Islam harus dipisahkan dari urusan politik bernegara. Menurutnya, agama tidak mengatur tata pelaksanaan suatu negara, tetapi dapat menjadi acuan prinsip dan sebagai pembatas dari perbuatan manusia yang tidak sempurna. Kesempurnaan agama terletak para prinsip-prinsip esensialnya, bukan pada bentuk formalnya. Cak Nur menolak konsep negara Islam ataupun syari’ahisasi hukum Islam dalam konstitusi suatu negara karena Islam sebagai agama yang universal akan terjebak pada penyempitan makna Islam.
Cak Nur juga mempunyai gagasan tentang demokrasi, menurutnya, demokrasi adalah rule minority right, yaitu sistem politik dengan prinsip mayoritas dengan tidak mengganggu kepentingan atau hak minoritas yang paling fundamental.Esensi demokrasi adalah proses menuju arah yang lebih baik. Suatu negara dapat disebut demokratis jika terdapat proses perkembangan yang melaksanakan prinsip-prinsip kemanusi8aan dan memberi hak kepada masyarakat secara individu ataupun sosial tanpa memandang ras, bahasa agama, dan ekonomi.
Islam menghendaki kebaikan bersama yang ukuran kebaikan tersebut meliputi kebaikan antarsesama manusia dan antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dari sanalah terdapat titik temu bahwa antara demokrasi dengan agama adalah idealitas untuk mewujudkan kebaikan bagi semua. Cak Nur sama seperti Gus Dur, yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip pokok terhadap demokrasi seperti kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara, keadilan, musyawarah memiliki kesamaan yang kuat dengan misi agama sebab agama pada dasarnya hadir untuk mewujudkan bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, keduanya sepakat bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.
Nurcholis Madjid tidak berhenti pada mengapologikan Islam inheren terhadap demokrasi. Ia mencoba menjelaskan bahwa demokrasi tidak terbantahkan sebagai upaya menuju tatanan masyarakat yang lebih baik. Dalam mewujudkan cita-cita itu, demokrasi diterapkan sebagai berikut.
a.       Struktur kenegaraan (demokrasi sebagai kebiasaan konstitusional)
Demokrasi diterapkan sebagi struktur dalam kenegaraan berarti adanya mekanisme check and balance yang harus dipertahankan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan mayoritas dalam menekan mayoritas. Oleh sebab itu, ia menghendaki perlunya oposisi resmi dalam parlemen. Peran oposisi dalam demokrasi bukan menghambat kebijakan pemerintah untuk perkembangan negara, melainkan saling mendukung untuk membangun tata pemerintahan yang lebih baik.
b.      Demokrasi diterapkan sebagai pandangan hidup masyarakat. Demokrasi sebagai suatu pengetahuan untuk dimengerti, dihayati, dan diejawantahkan dalam kehidupan sipil. Demokrasi pada kehidupan sipil yang ditekankan, antara lain kesadaran terhadap perbedaan, kebijaksanaan dalam permusyawaratan, cara-cara menentukan tujuan, kejujuran, kebebasan, dan kebutuhan terhadap pendidikan demokrasi.

3.      Pemikiran Politik Amien Rais
Amien Rais yang berlatarbelakang dengan pengaruh Muhammadiyah telah menawarkan pemikiran dasar bagi kehidupan politik Islam di Indonesia. Amien Rais mendasarkan pemikirannya pada konsep tauhid. Menurutnya, tauhid merupakan setrum suara hati dan pikiran setiap muslim. Oleh karena itu, tauhid berkedudukan dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan esensial. Komitmen manusia kepada tauhid tidak hanya terbatas pada hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi mencakup hubungan horizontal dengan sesama. Manusia yang berpegang pada tauhid mempunyai kewajiban untuk menegakkan suatu orde sosial yang adil dan etis, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan, merealisasikan nilai-nilai utama, memberantas kemungkaran di muka bumi yang bukan suatu derivative, melainkan bagian integral dari komitmen tauhid.
            Paradigma pemikiran Amien Rais yang berpusat pada konsep tauhid mengandung implikasi teoritis bahwa seluruh dimensi kehidupan umat manusia harus bertumpu pada tauhid sebagai esensi seluruh ajaran Islam. Hanya dengan menumpukkan seluruh aktivitas kegiatan hidup pada tauhid umat Islam dapat mencapai suatu kesatuan monoteisme yang meliputi semua bidang dan kegiatan hidup, termasuk di dalamnya kehidupan bernegara dan berpemerintahan.[3]
Komitmen Amin terhadap keadilan sosial memang dipengaruhi berbagai hal, termasuk kenyataan sosial politik bangsa yang diselaminya dari kacamata seorang pakar politik dan juga dari suara hati seorang intelektual. Tak heran jika visi keislaman Amien yang tumbuh dalam didikan keluarga Muhammadiyah itu, sedikit banyak juga memengaruhi sikap Amien yang dalam pemikirannya tampak sangat kritis bahkan cenderung anti terhadap Barat lebih khusus terhadap orientalis. Oleh sebab itu Amien Rais mendapat julukan seorang Natsiris yang Anti-Orientalis.[4]
Sikap kritis Amin terhadap segala sesuatu berbau Barat sebenarnya tak begitu mengherankan. Apalagi mengingat figure umat Islam Indonesia yang amat dikagumi Amin muda tak lain adalah sosok Muhammad Natsir. Tentang hal ini, Cak Nur Pun berkomentar bahwa “Amin itu sangat Natsiris”. Dan tak heran jika kemudian intelektual seperti Cak Nur melihat Amien sebagai semacam “lawan berpikir” yang baik terutama dalam memarakkan wacana “sekularisasi” dan “sekularisme” yang pernah dilotarkannya. Dalam berbagai tulisannya,, Amin memang dengan lantang menolak ide sekularisasi Cak Nur. Sebab menurut Amin, Islam dan sekularisasi adalah dua hal yang tidak bisa dipersatukan.[5]
Karena, menurut Amien,”….tesis sekularisasi menganjurkan agar agama menjauhkan diri dari politik, dan begitu pula sebaliknya. Padahal dalam pandangan Amien, antara Agama dan politik justru saling bersatu, dan satu sama lain tak bisa dipisahkan. Karena itu, Amien berpendapat bahwa “sekularisme-moderat maupun sekularisme radikal tidak memiliki tempat dalam agama Islam. Hal ini, jelas bersebrangan dengan gagasan sekularisas Cak Nur. Ia memisahkan antara sekularisasi sebagai konsep sosiologis dan sekularisme sebagai konsep ideoogis, yang berfungsi sangat mirip dengan” agama baru”
Apabila sekularisasi merupakan proses penduniawian, dalam pengertian, proses duniawi, maka tidak demikian dengan sekularisme. Sekularisme menurut Cak Nur adalah suatu paham keduniawian. Ia membentuk filsafat tersendiri, dan pandangan baru yang berbeda, atau bertentangan debgan seluruh agama di dunia ini.[6]
Perbandingan paradigm pemikiran Islam antara Amien Rais dengan Gus Dur yang telah mentransformasikan pemikiran politik Islam Indonesia. Amin Rain dengan berdasarkan prinsip Tauhid berpendapat bahwa nilai substansi islam lebih baik dimasukkan ke dalam Undang –undang daripada menformalisasikan Al-Qur’an dan Hadis di Indonesia. Bagi Amien, negara Islam bukanlah negara yang diperintah dengan pergantian berdasarkan keturunan. Baginya, prinsip keadilan  sebagai acuan dalam pemikirannya telah mengasumsikan pro terhadap adanya kedaulatan rakyat yang telah melahirkan ketidakadilan, karena bagi sosialisme adanya kesetaraan tidak memandang individu.
Gus Dur dalam asumsi pluralities telah menggagas bahwa konsep negara islam hanya sesuatu yang dicita-citakan. Konsep membumisasikan islam dengan memadukan antara budaya local telah melahirkan adanya konsep toleransi antar umat beragama.[7]



Kesimpulan
Berdasarkan pemikiran dari ketiga tokoh diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigm pemikiran politik di Indonesia telah mengedepankan adanya kulturasi Islam, bukan mengedepankan adanya formalism Al-Qur’an dan Hadis sebagi dasar negara dan konstitusi. Pemikiran tersebut, dipengaruhi oleh tipologi pemikiran politik sekuler, seperti Ar-Raziq.
Paradigm pemikiran politik Islam Indonesia mengacu pada wacana kontekstual ruang berlakunya Islam ke-Indonesiaan dengan melihat konteks dan kondisi kultur sosiologi. Dengan demikian, paradigm pemikiran politik Islam di Indonesia lebih mengedepankan kontekstul tempat bukan tekstual yang menawarkan posisi Islam dalam kehidupan politik Indonesia dengan asumsi lebih baik ikut andil dalam system politik Indonesia daripada akan timbul kemadharatan yang lebih banyak jika tidak berperan sama sekali.




[1] Dedi Jamaluddin Malik, Idi Subandi Ibrahim,1998, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung :Zaman wacana Mulia. Hal.93
[2] Muslim Mufti, M.SI, 2015,Politik Islam: sejarah dan pemikiran, Bandung:Pustaka Setia. Hal 36-37
[3] Muslim Mufti,2015, politik Islam sejarah dan pemikiran, Bandung: Pustaka setia, hal.38
[4] Dedi Jamaluddin Malik, Idi Subandi Ibrahim,1998, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung :Zaman wacana Mulia. Hal. 111
[5] Dedi Jamaluddin Malik, Idi Subandi Ibrahim,1998, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung :Zaman wacana Mulia. Hal.112
[6] Dedi Jamaluddin Malik, Idi Subandi Ibrahim,1998, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung :Zaman wacana Mulia. Hal.113
[7] Muslim Mufti,2015, politik Islam sejarah dan pemikiran, Bandung: Pustaka setia, hal.40

0 komentar:

Posting Komentar