I.
PENDAHULUAN
Islam adalah
agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk negara dan politik. Politik
(siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat baik dalam maupun luar negeri.
Pelaksanaan praktisnya adalah Daulah atau negara. Politik dalam negeri
dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda
atau aqidah dan peraturan Islam di dalam negeri.
Dalam
menggeluti politik dalam negeri, kaum muslimin wajib memerhatikan pelaksanaan
pemerintahan dan meluruskan jika terjadi penyimpangan. Berbagai pemikiran
muncul dari berbagai kalangan atau tokoh intelektual seperti Gus Dur, Cak Nur,
dan Amin Rais. Adapun pemikiran yang dilontarkan oleh mereka merupakan
pemikiran yang membuat kontroversial. Makalah ini akan membahas mengenai
pemikiran politik Islam menurut ketiga tokoh intelektual di atas.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pemikiran politik Abdurrahman Wahid?
2.
Bagaimana pemikiran politik Nur Cholis Majid?
3.
Bagaimana pemikiran politik Amien Rais?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pemikiran Abdurrahman Wahid
Sejak melontarkan pemikiran-pemikirannya pada pertengahan 1980-an
ia senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah. Berangkat dari dunia
pesantren ia dinilai menepiskan anggapan sebagian komunitas Islam kota terhadap
kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional. Kolom-kolom awalnya menyadarkan
orang akan tidak berdasarnya stereotip yang sering dialamatkan kepada para kiai
selama ini.
Memasuki dasawarsa 1990-an langkah politiknya lebih “gila” lagi.
Bagi sejumlah komunitas Islam, ia pernah dikecam habis-habisan karena
dukungannya terhadap seorang Jenderal yang justru dinilai pernah menyudutkan
umat Islam atau pendapatnya yang berani “keluar” mainstream umat saat
marak kasus Monitor dulu. Kemudian bersama sejumlah tokoh yang ada di pinggir
kekuasaan ia mengelindingkan Forum Demokrasi. Dengan itu, ia justru mengambil
resiko berseberangan dengan pendukung status quo.
Sejak kecil Gus Dur di didik dan dibesarkan dalam keluarga
pesantren dan di bawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri adalah Hadratus
Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pelopor Pesantren,
Jombang, Jawa Timur. K. H. Wahid Hasyim adalah ayah Gus Dur yang pada 1950
menjabat sebagai Menteri Agama R. I. Sedangkan K. H. Bisri Syamsuri adalah
kakek Gus Dur dari jalur ibundanya.
Gus Dur memang tidak hanya tampil sebagai sosok pribadi dengan
sepak terjangnya yang sering kontroversial, tapi ia juga seorang pemikir dengan
banyak gambar yang sering hanya sanggup dipahami berdasarkan sensasi media
saja. Tak heran kalau kelompok muda NU semacam Hairus Salim H. S. Dan Nurudin
Amin menyebut upaya untuk membuka diskusi mengenai sepak terjang Gus Dur di
pentas politik nasional, bisa dianalogikan sebagai pendakian terhadap sebuah
“gunung”. Untuk memahami sosok Gus Dur dengan segala manuver dan
kontroversinya, selama ini memang telah dilakukan oleh pengamat melalui banyak
jalur. Antara lain dengan cara melakukan periodisasi untuk mengetahui masa-masa
yang paling menentukan formasi intelektualitas Gus Dur.
Berdasarkan perspektif ini, dasawarsa 1970-an dan 1980-an awal
sering dikatakan sebagai “periode ilmiah”-nya Gus Dur. Sejak itu, menurut
mereka, dan sepanjang dasawarsa 1970-an hingga awal 1980-an, serangkaian
tulisan Gus Dur menyembul dari dunia yang hanya dikenal sepintas lalu, yang
“asing” dan “tidak dimengerti”, kecuali dengan sejumlah pengetahuan stereotipe.
Pada periode ini, pemikiran dan aksi politik Gus Dur terfokus pada persoalan
sosial, budaya, politik, dan keagamaan yang langsung berkaitan dengan
pergolakan dunia pesantren.
Namun pada gilirannya periodesasi itu
hanyalah salah satu jalan untuk menunjukkan bahwa Gus Dur adalh sosok yang
menarik untuk memerlihatkan betapa kuatnya keterkaitan antara pemikiran dan
aksi politik yang kontroversional dan sering sulit dipahami. Apalgi Gusdur
justru menjadi actor yang memimpin organisasi seperti NU dengan massa yang
senantiasa siap bertarung dengan berbagai wajah dunia sosial. Tak heran Gus Dur
sering dibilang para pengkritiknya sebagai pemimpin yang selalu jalan sendiri,
tidak menoleh ke belakang kepada umatnya, massa NU
Disebut sebagai pemikir yang memiliki
pemikiran kontroversional, dan terjadang terkesan nylene, membuat
Douglas E. Ramage, menyebut bahwa NU di bawah kepemimpinan Gus Dur, dianggap
mempresentasikan bentuk Islam yang lebih diterima pemerintah. Visi pemikiran
Gus Dur yang dianggap mendukung gagasan pencasila balik dirangkul pemerintah.
Ramage bahkan menyebut Gus Dur sebagai seorang “”Nasionalis-sekuler” dan actor
politik yang non-politis.[1]
Gus Dur dinilainya telah berhasil
menggunakan massa NU dalam kiprahnya untuk menjadi pelopor demokratisasi di
Indonesia. Tentu saja, dilakukan dengan argumentasi bahwa Islam dengan
demokrasi adalah mutually compatible. Penyebutan Gus Dur sebagai
“nasionalis sekuler” tampaknya berdasarkan berbagai pertimbangan setelah Ramage
melihat sepak terjang Gus Dur, baik keterlibatannya di berbagi LSM atau di
Fordem dan getolnya Gus Dur menkritik kelompok yang dinilainya mengabaikan atau
menyalahgunakan pancasila
2.
Pemikiran politik Nur Cholis Madjid
Nur Cholis
Madjid lahir pada tanggal 17 maret 1939 M di Desa Mojoanyar, Jombang, dan wafat
pada tanggal 29 Agustus 2005. Ayahnya bernama Abdul Madjid, dikenal sebagai
kiai terkondang, alumnus pesantren Tebuireng, dan salah seorang pemimpin
Masyumi, partai berideologi Islam paling berpengaruh pada saat itu.
Dikutip dalam
buku Islamku, Islam Anda, Islam kita karya Adurrahman Wahid, Gagasan-gagasan
Nur Cholis Madjid tentang hubungan Islam-politik saat itu telah menggugah
kesadaran baru umat Islam untuk mencairkan semangat pembentukan negara Islam
yang dipandang tidak realistis diterapkan di Indonesia. Pengalaman pahit
sejarah pembentukan negara yang hampir selalu berujung pada “Kegagalan” umat
Islam dijadikan sebagai salah satu pelajaran yang melatarbelakangi lahirnya
gagasan tersebut.[2]
Semangat
kulturalisasi ajaran Islam yang menjadi tema besar gerakan pembaharuan Fase
ke-dua telah menggugah generasi Islam era 70-an untuk melakukan perubahan
paradigmatis khususnya dalam mengimplikasikan nilai-nilai Islam, sesuai dengan
konteks kepentingan politik. Jargon “Islam Yes, partai Islam No” yang
dilontarkan oleh Nurcholis Madjid menjadi pelatuk awal yang memporak-porandakan
kecenderungan apologetik kelompok islam politik terhadap konsep negara
Indonesia.
Cak Nur
beranggapan bahwa Islam harus dipisahkan dari urusan politik bernegara.
Menurutnya, agama tidak mengatur tata pelaksanaan suatu negara, tetapi dapat
menjadi acuan prinsip dan sebagai pembatas dari perbuatan manusia yang tidak
sempurna. Kesempurnaan agama terletak para prinsip-prinsip esensialnya, bukan
pada bentuk formalnya. Cak Nur menolak konsep negara Islam ataupun
syari’ahisasi hukum Islam dalam konstitusi suatu negara karena Islam sebagai
agama yang universal akan terjebak pada penyempitan makna Islam.
Cak Nur juga
mempunyai gagasan tentang demokrasi, menurutnya, demokrasi adalah rule
minority right, yaitu sistem politik dengan prinsip mayoritas dengan tidak
mengganggu kepentingan atau hak minoritas yang paling fundamental.Esensi
demokrasi adalah proses menuju arah yang lebih baik. Suatu negara dapat disebut
demokratis jika terdapat proses perkembangan yang melaksanakan prinsip-prinsip
kemanusi8aan dan memberi hak kepada masyarakat secara individu ataupun sosial
tanpa memandang ras, bahasa agama, dan ekonomi.
Islam
menghendaki kebaikan bersama yang ukuran kebaikan tersebut meliputi kebaikan
antarsesama manusia dan antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dari
sanalah terdapat titik temu bahwa antara demokrasi dengan agama adalah
idealitas untuk mewujudkan kebaikan bagi semua. Cak Nur sama seperti Gus Dur,
yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip pokok terhadap demokrasi seperti
kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara, keadilan, musyawarah memiliki
kesamaan yang kuat dengan misi agama sebab agama pada dasarnya hadir untuk
mewujudkan bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, keduanya sepakat bahwa
demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.
Nurcholis
Madjid tidak berhenti pada mengapologikan Islam inheren terhadap demokrasi. Ia
mencoba menjelaskan bahwa demokrasi tidak terbantahkan sebagai upaya menuju
tatanan masyarakat yang lebih baik. Dalam mewujudkan cita-cita itu, demokrasi
diterapkan sebagai berikut.
a.
Struktur kenegaraan (demokrasi sebagai kebiasaan konstitusional)
Demokrasi
diterapkan sebagi struktur dalam kenegaraan berarti adanya mekanisme check
and balance yang harus dipertahankan untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan mayoritas dalam menekan mayoritas. Oleh sebab itu, ia menghendaki
perlunya oposisi resmi dalam parlemen. Peran oposisi dalam demokrasi bukan
menghambat kebijakan pemerintah untuk perkembangan negara, melainkan saling
mendukung untuk membangun tata pemerintahan yang lebih baik.
b.
Demokrasi diterapkan sebagai pandangan hidup masyarakat. Demokrasi
sebagai suatu pengetahuan untuk dimengerti, dihayati, dan diejawantahkan dalam
kehidupan sipil. Demokrasi pada kehidupan sipil yang ditekankan, antara lain
kesadaran terhadap perbedaan, kebijaksanaan dalam permusyawaratan, cara-cara
menentukan tujuan, kejujuran, kebebasan, dan kebutuhan terhadap pendidikan
demokrasi.
3.
Pemikiran Politik Amien Rais
Amien Rais yang berlatarbelakang dengan pengaruh Muhammadiyah telah
menawarkan pemikiran dasar bagi kehidupan politik Islam di Indonesia. Amien
Rais mendasarkan pemikirannya pada konsep tauhid. Menurutnya, tauhid merupakan
setrum suara hati dan pikiran setiap muslim. Oleh karena itu, tauhid
berkedudukan dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan esensial. Komitmen
manusia kepada tauhid tidak hanya terbatas pada hubungan vertikal dengan Tuhan,
tetapi mencakup hubungan horizontal dengan sesama. Manusia yang berpegang pada
tauhid mempunyai kewajiban untuk menegakkan suatu orde sosial yang adil dan
etis, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan, merealisasikan nilai-nilai
utama, memberantas kemungkaran di muka bumi yang bukan suatu derivative,
melainkan bagian integral dari komitmen tauhid.
Paradigma pemikiran Amien Rais yang
berpusat pada konsep tauhid mengandung implikasi teoritis bahwa seluruh dimensi
kehidupan umat manusia harus bertumpu pada tauhid sebagai esensi seluruh ajaran
Islam. Hanya dengan menumpukkan seluruh aktivitas
kegiatan hidup pada tauhid umat Islam dapat mencapai suatu kesatuan monoteisme
yang meliputi semua bidang dan kegiatan hidup, termasuk di dalamnya kehidupan
bernegara dan berpemerintahan.[3]
Komitmen Amin terhadap keadilan sosial
memang dipengaruhi berbagai hal, termasuk kenyataan sosial politik bangsa yang
diselaminya dari kacamata seorang pakar politik dan juga dari suara hati
seorang intelektual. Tak heran jika visi keislaman Amien yang tumbuh dalam didikan
keluarga Muhammadiyah itu, sedikit banyak juga memengaruhi sikap Amien yang
dalam pemikirannya tampak sangat kritis bahkan cenderung anti terhadap Barat
lebih khusus terhadap orientalis. Oleh sebab itu Amien Rais mendapat julukan
seorang Natsiris yang Anti-Orientalis.[4]
Sikap kritis Amin terhadap segala sesuatu
berbau Barat sebenarnya tak begitu mengherankan. Apalagi mengingat figure umat
Islam Indonesia yang amat dikagumi Amin muda tak lain adalah sosok Muhammad
Natsir. Tentang hal ini, Cak Nur Pun berkomentar bahwa “Amin itu sangat Natsiris”.
Dan tak heran jika kemudian intelektual seperti Cak Nur melihat Amien sebagai
semacam “lawan berpikir” yang baik terutama dalam memarakkan wacana
“sekularisasi” dan “sekularisme” yang pernah dilotarkannya. Dalam berbagai
tulisannya,, Amin memang dengan lantang menolak ide sekularisasi Cak Nur. Sebab
menurut Amin, Islam dan sekularisasi adalah dua hal yang tidak bisa
dipersatukan.[5]
Karena, menurut Amien,”….tesis sekularisasi
menganjurkan agar agama menjauhkan diri dari politik, dan begitu pula
sebaliknya. Padahal dalam pandangan Amien, antara Agama dan politik justru
saling bersatu, dan satu sama lain tak bisa dipisahkan. Karena itu, Amien
berpendapat bahwa “sekularisme-moderat maupun sekularisme radikal tidak memiliki
tempat dalam agama Islam. Hal ini, jelas bersebrangan dengan gagasan
sekularisas Cak Nur. Ia memisahkan antara sekularisasi sebagai konsep
sosiologis dan sekularisme sebagai konsep ideoogis, yang berfungsi sangat mirip
dengan” agama baru”
Apabila sekularisasi merupakan proses
penduniawian, dalam pengertian, proses duniawi, maka tidak demikian dengan
sekularisme. Sekularisme menurut Cak Nur adalah suatu paham keduniawian. Ia
membentuk filsafat tersendiri, dan pandangan baru yang berbeda, atau bertentangan
debgan seluruh agama di dunia ini.[6]
Perbandingan paradigm pemikiran Islam antara
Amien Rais dengan Gus Dur yang telah mentransformasikan pemikiran politik Islam
Indonesia. Amin Rain dengan berdasarkan prinsip Tauhid berpendapat bahwa nilai
substansi islam lebih baik dimasukkan ke dalam Undang –undang daripada
menformalisasikan Al-Qur’an dan Hadis di Indonesia. Bagi Amien, negara Islam
bukanlah negara yang diperintah dengan pergantian berdasarkan keturunan.
Baginya, prinsip keadilan sebagai acuan
dalam pemikirannya telah mengasumsikan pro terhadap adanya kedaulatan rakyat
yang telah melahirkan ketidakadilan, karena bagi sosialisme adanya kesetaraan
tidak memandang individu.
Gus Dur dalam asumsi pluralities telah
menggagas bahwa konsep negara islam hanya sesuatu yang dicita-citakan. Konsep
membumisasikan islam dengan memadukan antara budaya local telah melahirkan
adanya konsep toleransi antar umat beragama.[7]
Kesimpulan
Berdasarkan pemikiran dari ketiga tokoh diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa paradigm pemikiran politik di Indonesia telah mengedepankan adanya
kulturasi Islam, bukan mengedepankan adanya formalism Al-Qur’an dan Hadis
sebagi dasar negara dan konstitusi. Pemikiran tersebut, dipengaruhi oleh
tipologi pemikiran politik sekuler, seperti Ar-Raziq.
Paradigm pemikiran politik Islam Indonesia mengacu pada wacana
kontekstual ruang berlakunya Islam ke-Indonesiaan dengan melihat konteks dan
kondisi kultur sosiologi. Dengan demikian, paradigm pemikiran politik Islam di
Indonesia lebih mengedepankan kontekstul tempat bukan tekstual yang menawarkan
posisi Islam dalam kehidupan politik Indonesia dengan asumsi lebih baik ikut
andil dalam system politik Indonesia daripada akan timbul kemadharatan yang
lebih banyak jika tidak berperan sama sekali.
[1] Dedi Jamaluddin Malik,
Idi Subandi Ibrahim,1998, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung :Zaman
wacana Mulia. Hal.93
[4] Dedi Jamaluddin Malik,
Idi Subandi Ibrahim,1998, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung :Zaman
wacana Mulia. Hal. 111
[5] Dedi Jamaluddin Malik,
Idi Subandi Ibrahim,1998, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung :Zaman
wacana Mulia. Hal.112
[6] Dedi Jamaluddin Malik,
Idi Subandi Ibrahim,1998, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung :Zaman
wacana Mulia. Hal.113
0 komentar:
Posting Komentar